Aku sayang Ibu
Bingung, kesal, marah,
kecewa, sedih. Itulah yang kurasakan saat ini. Belakangan ini hubungan ku dan Ibuku
semakin buruk. Kami semakin sering bertengkar. Entah apa penyebab pastinya,
mungkin keegoisan masing-masing yang membuat semua keadaan ini semakin tak
terkontrol. Ibuku yang selalu berpikir kalau aku yang selalu membantah dan tak
penurut, dan aku yang selalu berpikir kalau Ibu tak pernah mengerti aku. Ada
saja hal yang membuat kami bertengkar dan merasa bahwa diri sendirilah yang
paling benar.
Aku selalu berpikir bahwa
Ibu tak pernah adil, dia selalu menyudutkan ku dan selalu membela kakak dan
adik ku. Kesal, sangat kesal. Rasanya ingin teriak sekencang-kencangnya dan
berbicara padanya bahwa ini semua tak adil. Tapi apa daya ku, karna aku tahu
jika aku mengatakan seperti itu keadaannya justru akan semakin buruk dan Ibu
akan semakin marah padaku.
Hari senin itu, selekas
aku pulang kuliah tanpa basa-basi Ibu langsung menyuruh ku untuk membantunya
membersihkan rumah.
“
Kamu sudah pulang ya.. ayo cepat bantu ibu membersihkan rumah.”
“Aku
cape bu! Aku baru aja sampe rumah. Belom juga istirahat tapi Ibu langsung
nyuruh aku ini-itu!” seru ku dengan emosi yang tak terkontrol, aku pun
marah-marah dan membentak ibu.
“Kamu
pikir kamu aja yang cape?! Ibu juga!” Ibuku pun membentak.
Dan seperti biasa,
emosi dibalas dengan emosi, tanpa kusadari air mata ini menetes, lagi dan lagi
kekesalan ini hanya bisa kupendam. Sering ku berpikir entah mengapa Ibu tak
pernah sedikit saja mengerti kondisi ku.
Dengan rasa kekesalan
dan air mata aku pun tetap membantu Ibu membersihkan rumah, dan aku
melakukannya tanpa komunikasi sedikit pun dengan Ibu. Selesai aku
mengerjakannya aku bergegas mandi dan langsung mengurung diri dikamar. Tanpa
kusadari waktu sudah menunjukkan pukul 17:30, Ayahku pulang. Selekas dia mandi
dia pun langsung menonton tv ditemani Ibu. Ibu pun menceritakan kejadian tadi
siang selekas aku pulang kuliah dan dengan cerita yang dilebih-lebihkan. Aku
mendengarnya dari dalam kamar tapi aku hanya bisa diam dan sambil menahan
emosi.
Setelah
sekian lama mereka berbincang, Ayah memanggil ku untuk makan malam bersama.
“Nak..
ayo cepat keluar, kita makan malam” kata Ayah.
“Iya
Yah.. tunggu sebentar” Aku pun keluar dari kamar dengan wajah yang kusam.
Saat
itu Ibu tidak ikut makan malam, dia langsung masuk ke kamar untuk menonton tv.
Di meja makan sebelum kami mulai makan Ayah menanyakan apa yang terjadi padaku,
“Kamu
kenapa? Ada masalah lagi dengan Ibu?” tanya Ayah sembari tersenyum.
“Hmm..
iya Yah” dan dengan menahan air mata aku pun menceritakannya.
“Kamu
tahu sifat Ibu mu seperti itu, seharusnya kamu bisa mengalah. Doa kan saja Ibumu
bisa berubah lebih baik. Kalau dia yang tidak bisa berubah, kamu yang harus
berubah. Berubah lebih sabar lagi” Ayah pun menasehati ku dengan nada yang
begitu lembut sehingga membuat ku tak dapat lagi menahan air mata.
Setelah itu kami
langsung melanjutkan makan malam dan setelah selesai aku pun langsung masuk ke dalam
kamar. Aku merenung, bagiku itu adalah salah satu alasan mengapa aku lebih
menyayangi Ayah dibanding Ibu. Dia lebih sabar dan jarang sekali membentak. Dan
prinsip dari Ayah yang paling aku suka adalah “mendidik anak tidak perlu dengan
kekerasan, tapi dengan kasih sayang”. Itulah yang membuat rasa sayang ini
semakin dalam padanya.
Namun pernah terlintas
dalam pikirku, jika aku lebih menyayangi Ayah dibanding Ibu, tidakkah aku sama
dengan Ibuku? Mempunyai sifat yang pilih kasih? Namun aku langsung mengabaikan
pemikiran itu dan memang tak ku pungkiri aku lebih menyayangi Ayah.
Malam pun berlalu, hari
berlanjut seperti biasa. Dan seperti biasa pula setiap harinya pasti selalu ada
pertengkaran antara aku dan Ibu, entah itu pertengkaran besar atau kecil dengan
berbagai alasan. Sampai suatu hari, keadaannya semakin kacau, semakin parah,
semakin tak terkendali.
Aku
semakin tak dapat menahan kekesalan dalam diriku, sampai kami pun bertengkar.
“Itu
ada pisau Bu, bunuh saja aku!”
Ibu pun kaget dan terdiam mendengar perkataan
ku.
“Atau
perlu aku pergi dari rumah ini aja sekarang?!” aku pun melanjutkan.
“Kamu
ga usah macam-macam ya! Masuk kamar sekarang!” bentak Ibu.
Aku
pun lari ke dalam kamar dan hanya mengurung diri dengan tak hentinya aku
menangis.
Tak
lama kemudian Ayah pulang dan mengetahui kejadian tersebut, mungkin Ayahku pun
sudah pusing melihat peristiwa ini yang selalu saja terus terjadi. Maka selepas
dia mandi dia memanggil aku dan Ibu. Dan malam itu terjadilah semacam
persidangan, sidang antara aku dan Ibu, dimana tersangkanya adalah aku dan Ibu,
dan Ayah yang menjadi hakim nya.
Aku
terus menangis dan menangis, sedangkan Ibu hanya bisa diam tertunduk. Dan Ayah
pun memulai persidangan itu dengan menanyakan terlebih dahulu kepada Ibuku
tentang apa yang terjadi.
“Ada
apa lagi sih Bu? Setiap hari pasti ribut terus.” Tanya Ayah
“Dia
tuh susah diatur Yah, memberontak terus. Setiap disuruh pasti ngomel, dia pikir
hanya dia yang cape, saya juga cape!”
“Tapi
segala sesuatu ga pake marah-marah bisa kan Bu? Anak juga ga suka kalau
dibentak terus. Bilangin baik-baik dia juga pasti ngerti kok, Ayah yakin!”
Lalu
lanjut Ayahku meminta aku untuk mengeluarkan semua apa yang ada didalam hatiku,
aku pun mencurahkannya,
“Aku
kesal Yah, Ibu itu pilih kasih! Ibu tuh ga pernah ngerti! Seenggaknya kalo aku
baru sampe rumah setelah pulang kuliah dikasih waktu dulu buat istirahat, baru
disuruh-suruh” “Kamu juga harusnya lebih ngerti dong, Ibu juga kan cape karna
udah kerja. Jangan hanya mau dimengerti, tapi harus mengerti kondisi orang lain
juga. Intinya kalian itu harus saling mengalah, saling membantu dan jangan
egois. Ayah harap kamu dan ibu tidak bertengkar lagi!” kata Ayahku menutup
pembicaraan.
Setelah kejadian itu
berlalu, esok paginya aku dan Ibu hanya bisa saling diam. Tak menyapa, tak ada
komunikasi. Kami menjalaninya masing-masing, acuh tak acuh. Waktu berlalu dan
saat siang hari, entah mengapa tiba-tiba seluruh badanku terasa sakit, seperti
remuk. Kepala ku pun sangat sakit. Aku mencoba untuk tak memberitahu kepada Ibu
dan aku berusaha untuk mengurus semuanya sendiri. Aku pun beristirahat, tapi
diluar dugaan ku setelah aku beristirahat badan ku tetap sakit, justru lebih
sakit dari sebelumnya. Aku pun hanya bisa menahan sakit dan menangis di dalam
kamar. Tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamar dan melihat keadaanku, ibuku pun
langsung panik dan segera membuatkan ku teh hangat dan memberi aku obat,
setelah itu dia memijat badanku.
Aku pun terlelap, waktu
sudah malam dan aku bangun, aku bangun hanya untuk makan malam dan mimum obat
lalu aku melanjutkan tidur kembali.
Esok
paginya saat aku masih terlelap Ibu pun membangunkan ku sambil mengelus
kepalaku dan menanyakan
“Kamu
masih sakit nak? Kamu bangun yah, sarapan dulu, minum obat lalu istirahat lagi.”
Dan
saat itu aku hanya bisa menangis. Menangis karena mengingat semua perlakuan ku
selama ini terhadapnya, perlakuan yang tidak baik, yang tidak pantas dilakukan
terhadap seorang Ibu. Tak pernah terlintas dalam pikirku jika Ibu begitu
perhatian kepada ku, menurut ku selama ini aku sudah salah menilai Ibuku
sendiri. Hanya melihat dia dari segi kekurangannya saja. Pikirku saat itu, tak
ada aku memikirkan kondisi ku, yang aku pikirkan hanyalah betapa bersalahnya
aku selama ini terhadap Ibu.
Selama aku sakit dia
merawat ku, sambil merawat ku dia tetap berangkat untuk bekerja, setelah pulang
bekerja dia melihat kondisi ku terlebih dahulu, memberi ku makan dan obat, dan
langsung mengerjakan pekerjaan rumah. Semua dilakukannya sendiri, karena Ayah
dan kakak ku selalu berangkat pagi dan pulang sore atau bahkan malam untuk
bekerja dan adik ku pun berangkat pagi dan pulang sore untuk sekolah. Aku pun
hanya bisa berbaring sambil menangis, tak tega rasanya melihat dia mengerjakan
semuanya sendirian, tanpa istirahat, dan tanpa mempedulikan kesehatannya
sendiri. Tapi semua tetap dikerjakannya tanpa mengeluh sedikit pun.
Sampai beberapa hari
kemudian, keadaan ku pun membaik, aku sudah dapat beraktivitas seperti biasa,
dan sesuai dengan janjiku saat aku sakit, aku tak kan mengecewakan Ibuku lagi,
semampu ku aku akan lakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan untuknya. Mulai
saat itu aku mulai berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti hatinya
lagi, untuk membantu dia melakukan pekerjaan rumah dan berusaha untuk selalu siap
jika dia membutuhkan pertolonganku.
Keadaan pun berangsur
membaik, kami melakukan aktivitas kami masing-masing seperti biasa. Seiring
berjalannya waktu, Ibuku pun semakin disibukkan dengan pekerjaannya, dan
sebelum dia berangkat untuk bekerja dia selalu menyempatkan diri untuk
melakukan beberapa pekerjaan rumah, mungkin karena keadaan itulah yang membuat Ibuku
menjadi jatuh sakit.
Kondisinya pun sangat
lemah, dan karena sakitnya itu dia tidak bekerja beberapa hari, dirumah pun dia
tak dapat mengerjakan apa-apa. Aku hanya bisa menangis, tak tega melihat ibu
yang kusayangi hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur.
Dan saat itulah aku
yang menggantikan posisinya sementara, jika aku kuliah siang, paginya aku sudah
membereskan rumah terlebih dahulu, dan menyiapkan makanan untuk ibu dan
merawatnya. Merawatnya menjadi salah satu cara ku untuk membalas semua kebaikan
dia untukku. Dan aku tak pernah mengeluh
sedikit pun walaupun aku harus terus bekerja untuk membantu dan kuliah.
Kondisi kesehatan Ibu
semakin membaik, betapa senangnya hatiku melihat Ibu sudah sehat seperti biasa,
sudah dapat beraktivitas dan mulai bekerja lagi.
Bukan hanya kondisi
kesehatan Ibu yang membaik, keadaan hubungan kami pun semakin membaik, kami
sering bercanda bersama, menghabiskan waktu bersama, saling bercerita dan
belanja bersama. Dan dalam hal pembagian pekerjaan dirumah, kami pun semakin
membantu satu sama lain. Saling berusaha untuk mengerti kondisi yang lain dan
berusaha untuk tidak memaksa. Ayah pun selalu tersenyum melihat hubungan kami
yang membaik, dan aku berharap hubungan ini akan terus membaik.
Dan dulu, aku berpikir
bahwa aku lebih menyayangi Ayah dibanding Ibu, tapi sekarang tak ada yang lebih
ataupun kurang, semuanya sama. Besarnya rasa sayang ku terhadap Ayah dan Ibu
sama, dan aku pun yakin kasih Orang tua terhadap semua anaknya sama, tak ada
pilih kasih.
Aku
pun meminta maaf kepada Ibu atas semua perlakuan buruk ku dulu kepada dia, “Maafkan
aku Ibu, maafkan aku karna selama ini aku selalu menyakiti mu atas perilaku
ku.” “Ibu juga minta maaf ya nak, maaf atas semua kesalahan ibu”
“Iya
Bu, Terimakasih ya Bu buat semua kasih sayangmu, aku sayang Ibu sekarang dan
selamanya” Kataku sambil tersenyum.
“Ibu juga nak, Ibu akan terus dan selalu
menyayangimu..” Jawab Ibu sambil memeluk ku.